Selasa, 03 Januari 2012

Pemuda Harus Mata Duitan

Uang adalah alat tukar dan alat pembayaran yang sah. Sebelum adanya uang, pembayaran dilakukan secara barter. Uang merupakan simbol dari sebuah nilai. Sedangkan nilai adalah merupakan unsur vital yang terkandung pada suatu benda atau suatu hal. Katakanlah, sebatang kayu dewandaru, kayu dewandaru karena jenis dan manfaatnya, orang secara subjektif akan menganggap itu suatu hal yang bernilai. Dari beberapa subjektivitas itu kemudian dikumpulkan menjadi sebuah objektivitas penilaian. Dengan adanya uang, objektivitas itu dikonversikan berdasarkan nilai uang. Misalnya Rp. 75.000,00 per batang kecilnya. 

Jadi sebenarnya yang bernilai adalah kayu dewandaru tersebut, bukan uangnya. Di sini uang hanya sebagai nilai simbolik dari benda tersebut. Jika kita memahami ini, maka kita akan paham. Orang banyak uang itu belum tentu kaya. Karena itu hanyalah sekedar simbol. Orang yang mempunyai uang Rp. 100.000,00 tetapi hanya mempunyai rumah tipe kecil bisa jadi lebih miskin daripada tukang becak yang penghasilannya Rp. 20.000,00 per bulan tetapi memiliki sepetak sawah. Hal ini mungkin terjadi saat nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar menurun drastis sebagaimana yang terjadi pada saat krisis moneter pada beberapa tahun silam.

Karena itulah, ada istilah bahwa uang itu bukan segalanya. Cuma istilah ini hanya akan terapresiasi secara aktual oleh orang-orang tertentu yang paham dan memiliki idealisme mengenai pengertian uang dan dunia.  Sedangkan orang yang gemar mengejar dunia dan tidak memiliki ilmu mengenai substansi kekayaan akan beranggapan bahwa uang adalah segalanya. Berbagai cara akan dilakukan untuk mendapatkan uang. Yang keren adalah manipulasi atau korupsi, yang paling jelek adalah nyuri ayam kemudian dijual atau nyuri sarung orang yang sedang dijemur kemudian digadaikan. Gila kan? uda nyuri, digadaikan pula.

Namun bagaimana pun idealisme terhadap uang, pada realitasnya memang uang bisa dikatakan dibutuhkan untuk segalanya. Dengan uang semua bisa dilakukan. Ijasah bisa dibeli, kekuasaan bisa didapatkan, dukungan dan keamanan bisa dimiliki, hukum bisa dipermainkan, pemuas nafsu (PSK atau gigolo) bisa dengan mudah didapatkan, bahkan istri yang sangat cantik pun bisa digaet sekalipun suaminya jelek, buluk, pendek, cebol, hitam, keriput, hidup pula. Asal ada UANG. Inilah realitas di mana uang menjadi sebuah motor penggerak segala hal. Sedangkan subjek pemilik uang adalah driver yang mengendalikan.

Dengan peran uang yang sangat urgen inilah, jadilah pemuda yang mata duitan. Mungkin kata-kata ini sedikit tabu dan terdengar aneh bagi pembaca. Sebentar, mari kita telaah bersama makna kata ini. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa Indonesia dulu dijajah oleh belanda selama kurang lebih 350 tahun, kemudian oleh Jepang 3,5 tahun, belum lagi penjajahan oleh bangsa-bangsa lain dan kerusuhan paska kemerdekaan. Penjajahan secara fisik mengarahkan rakyat dan bangsa indonesia sebagai pekerja keras, bahkan kerja paksa. Realita inilah yang kemudian menjadi dogma secara tidak langsung, bisa diakatakan sebagai penjajahan idealisme rakyat indonesia untuk menjadi seorang PEKERJA keras. Sedangkan penjajah sebagai bos yang menikmati hasil jerih payah darah dan kelaparan rakyat pribumi.
Doktrin ini begitu mengakar kuat, sampai-sampai di sekolah dan di rumah selalu ada nasihat, kamu harus bekerja keras belajar, biar nanti kalo sudah besar dapat pekerjaan yang enak, jadi PNS, pegawai dan seterusnya dan seterusnya. Kata-kata pekerja dan pekerjaan yang selalu diulang-ulang inilah secara tidak langsung dan tanpa disadari telah melekat pada mind set setiap orang di Indonesia. Orang Indonesia (termasuk mahasiswa) lebih bangga menjadi pegawai di perusahaan-perusahaan swasta khususnya milik Asing daripada menjadi seorang pengusaha. Lebih bangga menjadi PNS dengan seragam dan keterikatannya daripada menjadi wirausahawan.


Mind set orang indonesia telah ditekuk-tekuk menjadi pencari pekerjaan dengan tumpukan lamaran pekerjaan yang selalu disiapkan. Otaknya dipenuhi dengan pencarian lowongan pekerjaan. Stabilonya habis untuk menandai lowongan-lowongan di koran. Kreativitasnya mati oleh animo bahwa pekerjaan adalah segalanya. Seragam suatu instansi menjadi ajang gengsi. Bahkan untuk sekedar seragam dan formalitas suatu karir, tidak jarang dikeluarkan sejumlah uang (suap). Dalam islam, penyuap dan yang disuap akan bersama-sama masuk neraka. Dan dalam agama apa pun, yang namanya kecurangan adalah kesesatan. Kemudian untuk mengembalikan pengorbanan puluhan bahkan ratusan juta yang dikeluarkan untuk penyuapan, tentunya mencari-cari dengan berbagai cara. Biasanya menggelapkan dana, tapi ini cara paling tidak intelek. Yang lebih rapi adalah korupsi terstruktur pada proyek-proyek di instansi tersebut.


Ya contoh sepelenya adalah proyek pengaspalan jalan. Korupsinya jelas terstruktur dan mengakar kuat. Dari pemerintah pusat saat dana turun, misalkan 20 Milyar Rupiah,  enuju ke pemerintah daerah sudah jelas ada pemangkasan dana, setidaknya alasan ini itu untuk kelancaran turunnya dana. Pemda ke pemkot juga sama, sunat dana berlanjut. Pemkot ke Kecamatan, Kecamatan ke Kelurahan, Kelurahan ke pelaksana proyek, sampai pada mandor dan tukang aspalnya juga nyunat dana, kalau pekerja biasanya nyuri semen atau apalah yang lebih mudah. Aspal yang mestinya tebal 15 Cm, bisa-bisa tinggal 1,5 Cm. Terbukti dari jalan-jalan yang biasa baru diaspal beberapa minggu bahkan hari kemudian akan bolong-bolong.

Itu baru contoh kecil, sedangkan tiap Dinas pasti ada puluhan proyek.  Proyek masih juga dipermainkan oleh mafia tender dan mafia-mafia kecil lainnya. Ini semua sudah mengakar dan terstruktur. Salah satu penyebabnya adalah konsep berfikir yang salah mengenai tujuan hidup, yakni pekerjaan. Ya memang ujung-ujungnya juga duit. Lalu apa bedanya?? Coba kita analogikan sejenak, pernahkah kita menyukai seseorang? kemudian kita pura-pura meminjam buku atau apalah agar bisa semakin dekat dengannya?? Sebenarnya tujuan kita buku tersebut ataukah orang yang kita sukai?? Nah itulah analogi pekerjaan dan uang. Tujuan utama adalah uang, sedangkan pekerjaan adalah salah satu media.

Sama seperti buku pada kasus di atas, pekerjaan hanyalah salah satu dari sekian banyak cara mendapatkan uang. Bisa berdagang, wirausaha, saham, investasi lainnya dan masih banyak lagi jalan. Tentunya yang halal yang kita bahas di sini. Konsep berpikir yang hanya terbatas pada pencarian pekerjaan benar-benar mematikan kreasi. Membuat orang tergantung pada sesuatu. Termangu menunggu gaji. Memang sudah jelas dan tetap, tapi nilainya ya segitu saja. Tidak ada dinamika yang bisa dikatakan pencapaian luar biasa. Maka dari itulah, mari menjadi pemuda yang MATA DUITAN, jangan menjadi pemuda yang MATA KERJAAN. Lebih-lebih mata keranjang atau lebih jelek lagi mata sablukan (alat masak nasi).
Semangat untuk pemuda Indonesia!!!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | WordPress Themes Review