Jumat, 23 November 2012

Kenapa Birokrasi Kita Tidak Efisien?


 

Birokrasi adalah wadah layanan.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa birokrasi adalah sebuah sistem layanan untuk masyarakat. Sekali lagi jangan sampai kita lupa, bahwa birokrasi merupakan sebuah wadah untuk melayani segenap kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang perlu diorganisir secara prosedural dan tertib. Kebutuhan-kebutuhan yang dilayani adalah dalam bidang kesehatan, kependudukan, sosial, pendidikan dan lain-lainnya.


Namun juga ladang emas.
Sebagai ladang emas yang sangat potensial, tentunya birokrasi menjadi rebutan setiap orang. Ladang emas di sini hanya dapat ditambang dengan cara yang ilegal atau bahasa kasarnya adalah dengan cara ‘kotor’. Jika tidak dengan cara kotor, maka gaji para pegawai birokrasi sangat terbatas sesuai dengan jabatan dan golongannya. Tentunya jika kita tahu, gaji birokrat tidaklah banyak. Ya, tidak sebandinglah dengan nilai suap menyuap untuk bisa menjadi birokrat yang nilainya mencapai kisaran Rp. 200.000.000,00 (Dua ratus juta rupiah), atau bahkan bisa lebih.
Tetapi fokus pembahasan kali ini bukan mengenai gaji atau motif para birokrat ketika masuk dan berikrar mengabdi kepada masyarakat lewat sistem birokrasi. Topik kali adalah mengenai ketidak efisienan birokrasi di Indonesia. Tentang kenapa dan bagaimana ketidak efisienan ini terjadi. Tentunya sesuatu yang tidak efisien sudah jelas merugikan, dalam hal ini merugikan masyarakat sebagai subjek yang dilayani.

Kalah dengan pelayanan BANK Swasta
Mari kita bandingkan dengan pelayanan BANK-BANK Swasta, sebagai contoh dalam pembuatan akun sebagai nasabah baru misalnya, kita semua pasti sepakat bahwa pelayanannya sangat mudah dan cepat. Padahal kita tahu bahwa isi serta fungsi buku tabungan dan ATM lebih lengap dan rumit daripada KTP, tetapi kenapa kemudian pengurusan KTP menjadi lebih rumit? Nah pertanyaan inilah yang merupakan tanda tanya besar mengenai kenapa birokrasi kita sangat pantas untuk dikatakan bahwa tidak efisien.

Antara sistem dan birokrat
Berbicara mengenai birokrasi, maka tidak lepas dari dua unsur, yakni sistem dan oknum birokrasi (birokrat). Sehingga yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah dua objek tersebut. Baik buruknya birokrasi tidak lepas dari sistem dan pelaku sistem. Sistem yang bagus, namun pelakunya bermental buruk dan berbuat kontraproduktif, maka birokrasi akan tetap menjadi tidak efisien, bahkan mungkin akan mengalami banyak masalah. Begitu pula kualitas birokrat yang baik namun tidak didukung oleh sistem yang memadai tetap akan menjadi masalah dalam efektifitas birokrasi.

Sudah sering reformasi.
Seiring dengan tiap pergantian kabinet, maka terjadi pula amandemen kebijakan dalam tubuh birokrasi. Sehingga bisa dibilang, selalu ada perubahan dalam sistem tersebut. Namun faktanya, tetap saja birokrasi menjadi sebuah perbincangan atas ketidak efisienannya. Sebagai contoh, untuk mengurus KTP saja terlalu lama prosedurnya. Jika ATM bisa ditunggu hanya dalam hitungan menit, maka KTP bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Ini biasanya dijadikan umpan agar ada upeti lebih untuk mulusnya pengurusan KTP sehingga lebih cepat. Saya katakan upeti karena pungutan semacam itu tidak jauh bedanya dengan iuran paksa pada jaman dahulu. Hanya saja penarikan uang liar tersebut terselubung di balik seragam coklat kusam para pegawai.

Jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?
Begitulah sistem digunakan untuk meraup keuntungan para birokratnya. Seakan-akan prinsip dari sistem saat ini adalah “Jika bisa lama dan sulit, kenapa harus dibuat cepat dan mudah?”. Dan memang begitulah yang dapat dirasakan dari pelayanan-pelayanan negara. Sangat jauh dari efisien, yang ada hanya buang-buang waktu, tenaga dan uang. Membuat akun facebook saja yang bertaraf internasional sangat mudah dan cepat, nah kenapa membuat surat keterangan atau surat pindah saja sulitnya bukan main?

Masih banyak kebobrokan lain.
Kebobrokan sistem yang saya paparkan pada paragraf di atas hanyalah segelintir contoh saja. Itu baru kebijakan dalam pelayanan secara nyata kepada masyarakat. Jika mau ditelisik lebih jauh, akan didapatkan begitu banyak penyimpangan. Seperti monopoli dalam proyek-proyek kesehatan, pendidikan, sosial bahkan proyek bantuan kepada rakyat miskin pun dimonopoli utuk memperkaya diri. Jika demikian adanya, maka para oknum tersebut memperoleh kekayaan dari rakyat miskin yang mungkin detik ini anaknya sedang merengek lapar. Sangat ironis dan cukup memalukan.

Juga kebobrokan pembuat sistem.
Berbicara kebobrokan sistem, maka akan terkait dengan kerusakan moral pembuat sistem itu. Maka oknum lagi-lagi menjadi sumber sorotan utama dalam pembahasan ini. Jika dari proses masuknya sang pegawai sudah dibumbui dengan kecurangan, maka jelas motivasinya adalah bereorientasi material. Jika orientasinya adalah materi, maka tidak ada ketulusan. Jika ketulusan itu tidak lagi ada, maka bukan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan, tetapi mencekik masyarakatlah yang akan dilakukan.

Rendahnya kualitas SDM.
Kualitas SDM (birokrat) yang rendah adalah hal yang fatal, namun sudah dapat dipastikan bahwa kualitas birokrat hasil titipan (suap atau nepotisme) adalah sangat-sangat rendah dan tidak ada nilainya. Bisa-bisa ijazah pun hasil beli cuma-Cuma. Jika sudah demikian, kemajuan apalagi yang bisa kita harapkan dari birokrasi di Indonesia? Mungkin gigit jari dan bengong adalah ekspresi yang akan terpaksa dialami jika ada harapan demikian.
Seperti yang saya katakan diatas bahwa birokrasi adalah ladang emas. Bisa juga dikatakan sebagai mata air yang sangat menyegarkan di tengah-tengah padang pasir yang terik. Karena itu lah para calon-calon pelayan masyarakat berlomba-lomba untuk bisa masuk di dalamnya. Akan sangat menyenangkan jika bisa masuk dan menambang sebanyak-banyaknya. Dari banyaknya peminat inilah yang kemudian juga menimbulkan banyaknya birokrat yang ada.

Terlalu banyak kuota.
Saya cukup heran dengan kuota penerimaan CPNS setiap tahunnya. Berapa banyak yang diterima tersebut mungkin saja tidak diimbangi dengan sudah banyaknya birokrat dan kebutuhan akan pegawai. Kalau pun memang membutuhkan banyak pegawai, itu pun bagi saya masih tidak efisien. Karena sistem yang baik adalah sistem dengan pelaku atau operator yang sedikit. Di sinilah peran pengembangan TIK menjadi sangat krusial guna lancarnya birokrasi. Pelayanan publik berbasi TIK dan internet mungkin solusi yang cukup baik untuk pengatasan masalah tersebut.

Bagaimana dengan BANK?
Coba kembali kita lihat di BANK, berapa costumer service dan teller-nya? Dengan beberapa costumer service dan teller saja segala urusan perbankan dapat dilaksanakan dengan optimal. Ini karena semua telah dipersiapkan dengan mesin atau teknologi. Dan kualitas SDM-nya pun sangat bagus. Berbiacara kualitas maka juga berbicara dengan kualitas perekrutan. Ini yang selanjutnya nanti akan dibahas dalam topik “Kenapa Birokrasi di Indonesia Perlu Diperbaiki?”

Garis Besar
Dapat disimpulkan bahwa permasalahan tidak efisiennya birokrasi itu sebenarnya permasalahan sistem dan permasalahan birokrat. Mengenai sistem, secara garis besar yang menjadi sorotan saya adalah dalam bidang pelayanan. Pelayanan yang buruk, berbeli-belit dan terlalu lama adalah sebuha indikator utama betapa tidak efisiennya birokrasi di tanah air. Belum lagi sistem-sistem lain dalam praktik birokrasi di Indonesia seperti dalam proyek pembangunan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya, masih banyak sekali terjadi penyimpangan.

Dua Permasalah Krusial
Kemudian mengenai birokrat, ada dua permasalahan krusial. Yang pertama adalah banyaknya birokrat dalam tataran birokrasi, dengan melibatkan terlalu banyak orang maka akan terlalu banyak pula kepentingan pribadi dan kelompok yang memungkinkan terjadinya penyimpangan. Permasalahan yang kedua adalah kualitas SDM dalam birokrasi, karena penerimaan dan pola di dalam birokrasi sudah tidak sehat lagi, maka orang berkualitas rendah bisa dijadikan pimpinan sedangkan orang bergelar Doktor bisa dikotak ke wilayah terpencil menjadi tukang stempel.
Peristiwa di atas sudah banyak terjadi. Dan saya tahu sendiri hal tersebut, di mana seorang pakar pendidikan bergelar Doktor yang sebenarnya berada pada jabatan pusat di Surabaya harus menerima kenyataan dimutasi ke daerah Malang Selatan menjadi tukang stempelnya kecamatan. Ini semua karena dalam birokrasi, monopoli kekuasaan itu biasa. Siapa yang di atas dialah yang berkuasa, semua harus tunduk pada atasan. Ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran birokrat untuk benar-benar tulus mengabdi pada masyarakat.

Konklusi
Itulah beberapa hal yang merupakan wujud nyata betapa  tidak efisiennya birokrasi kita. Hal-hal semacam itu cukup memperihatinkan. Birokrasi yang semestinya adalah sebuah wadah pelayanan harus menjadi tabung monopoli yang sarat dengan kecurangan dan kejahatan terselubung. Hal-hal semacam itulah yang sebenarnya juga menghambat perkembangan Indonesia sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | WordPress Themes Review