Birokrasi adalah wadah layanan.
Sebagaimana
yang telah kita ketahui bersama, bahwa birokrasi adalah sebuah sistem layanan
untuk masyarakat. Sekali lagi jangan sampai kita lupa, bahwa birokrasi
merupakan sebuah wadah untuk melayani segenap kebutuhan-kebutuhan masyarakat
yang perlu diorganisir secara prosedural dan tertib. Kebutuhan-kebutuhan yang
dilayani adalah dalam bidang kesehatan, kependudukan, sosial, pendidikan dan
lain-lainnya.
Namun juga ladang emas.
Sebagai
ladang emas yang sangat potensial, tentunya birokrasi menjadi rebutan setiap
orang. Ladang emas di sini hanya dapat ditambang dengan cara yang ilegal atau
bahasa kasarnya adalah dengan cara ‘kotor’. Jika tidak dengan cara kotor, maka
gaji para pegawai birokrasi sangat terbatas sesuai dengan jabatan dan
golongannya. Tentunya jika kita tahu, gaji birokrat tidaklah banyak. Ya, tidak
sebandinglah dengan nilai suap menyuap untuk bisa menjadi birokrat yang
nilainya mencapai kisaran Rp. 200.000.000,00 (Dua ratus juta rupiah), atau bahkan
bisa lebih.
Tetapi
fokus pembahasan kali ini bukan mengenai gaji atau motif para birokrat ketika
masuk dan berikrar mengabdi kepada masyarakat lewat sistem birokrasi. Topik
kali adalah mengenai ketidak efisienan birokrasi di Indonesia. Tentang kenapa
dan bagaimana ketidak efisienan ini terjadi. Tentunya sesuatu yang tidak
efisien sudah jelas merugikan, dalam hal ini merugikan masyarakat sebagai
subjek yang dilayani.
Kalah dengan pelayanan BANK Swasta
Mari
kita bandingkan dengan pelayanan BANK-BANK Swasta, sebagai contoh dalam
pembuatan akun sebagai nasabah baru misalnya, kita semua pasti sepakat bahwa
pelayanannya sangat mudah dan cepat. Padahal kita tahu bahwa isi serta fungsi
buku tabungan dan ATM lebih lengap dan rumit daripada KTP, tetapi kenapa
kemudian pengurusan KTP menjadi lebih rumit? Nah pertanyaan inilah yang
merupakan tanda tanya besar mengenai kenapa birokrasi kita sangat pantas untuk
dikatakan bahwa tidak efisien.
Antara sistem dan birokrat
Berbicara
mengenai birokrasi, maka tidak lepas dari dua unsur, yakni sistem dan oknum
birokrasi (birokrat). Sehingga yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah dua
objek tersebut. Baik buruknya birokrasi tidak lepas dari sistem dan pelaku
sistem. Sistem yang bagus, namun pelakunya bermental buruk dan berbuat
kontraproduktif, maka birokrasi akan tetap menjadi tidak efisien, bahkan
mungkin akan mengalami banyak masalah. Begitu pula kualitas birokrat yang baik
namun tidak didukung oleh sistem yang memadai tetap akan menjadi masalah dalam efektifitas
birokrasi.
Sudah sering reformasi.
Seiring
dengan tiap pergantian kabinet, maka terjadi pula amandemen kebijakan dalam
tubuh birokrasi. Sehingga bisa dibilang, selalu ada perubahan dalam sistem
tersebut. Namun faktanya, tetap saja birokrasi menjadi sebuah perbincangan atas
ketidak efisienannya. Sebagai contoh, untuk mengurus KTP saja terlalu lama
prosedurnya. Jika ATM bisa ditunggu hanya dalam hitungan menit, maka KTP bisa
berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Ini biasanya dijadikan umpan agar ada
upeti lebih untuk mulusnya pengurusan KTP sehingga lebih cepat. Saya katakan
upeti karena pungutan semacam itu tidak jauh bedanya dengan iuran paksa pada
jaman dahulu. Hanya saja penarikan uang liar tersebut terselubung di balik
seragam coklat kusam para pegawai.
Jika bisa dipersulit, kenapa harus
dipermudah?
Begitulah
sistem digunakan untuk meraup keuntungan para birokratnya. Seakan-akan prinsip
dari sistem saat ini adalah “Jika bisa lama dan sulit, kenapa harus dibuat
cepat dan mudah?”. Dan memang begitulah yang dapat dirasakan dari
pelayanan-pelayanan negara. Sangat jauh dari efisien, yang ada hanya
buang-buang waktu, tenaga dan uang. Membuat akun facebook saja yang bertaraf
internasional sangat mudah dan cepat, nah kenapa membuat surat keterangan atau
surat pindah saja sulitnya bukan main?
Masih banyak kebobrokan lain.
Kebobrokan
sistem yang saya paparkan pada paragraf di atas hanyalah segelintir contoh
saja. Itu baru kebijakan dalam pelayanan secara nyata kepada masyarakat. Jika
mau ditelisik lebih jauh, akan didapatkan begitu banyak penyimpangan. Seperti
monopoli dalam proyek-proyek kesehatan, pendidikan, sosial bahkan proyek
bantuan kepada rakyat miskin pun dimonopoli utuk memperkaya diri. Jika demikian
adanya, maka para oknum tersebut memperoleh kekayaan dari rakyat miskin yang
mungkin detik ini anaknya sedang merengek lapar. Sangat ironis dan cukup
memalukan.
Juga kebobrokan pembuat sistem.
Berbicara
kebobrokan sistem, maka akan terkait dengan kerusakan moral pembuat sistem itu.
Maka oknum lagi-lagi menjadi sumber sorotan utama dalam pembahasan ini. Jika
dari proses masuknya sang pegawai sudah dibumbui dengan kecurangan, maka jelas
motivasinya adalah bereorientasi material. Jika orientasinya adalah materi,
maka tidak ada ketulusan. Jika ketulusan itu tidak lagi ada, maka bukan
pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan, tetapi mencekik masyarakatlah yang
akan dilakukan.
Rendahnya kualitas SDM.
Kualitas
SDM (birokrat) yang rendah adalah hal yang fatal, namun sudah dapat dipastikan
bahwa kualitas birokrat hasil titipan (suap atau nepotisme) adalah
sangat-sangat rendah dan tidak ada nilainya. Bisa-bisa ijazah pun hasil beli
cuma-Cuma. Jika sudah demikian, kemajuan apalagi yang bisa kita harapkan dari
birokrasi di Indonesia? Mungkin gigit jari dan bengong adalah ekspresi yang
akan terpaksa dialami jika ada harapan demikian.
Seperti
yang saya katakan diatas bahwa birokrasi adalah ladang emas. Bisa juga
dikatakan sebagai mata air yang sangat menyegarkan di tengah-tengah padang
pasir yang terik. Karena itu lah para calon-calon pelayan masyarakat
berlomba-lomba untuk bisa masuk di dalamnya. Akan sangat menyenangkan jika bisa
masuk dan menambang sebanyak-banyaknya. Dari banyaknya peminat inilah yang
kemudian juga menimbulkan banyaknya birokrat yang ada.
Terlalu banyak kuota.
Saya
cukup heran dengan kuota penerimaan CPNS setiap tahunnya. Berapa banyak yang
diterima tersebut mungkin saja tidak diimbangi dengan sudah banyaknya birokrat
dan kebutuhan akan pegawai. Kalau pun memang membutuhkan banyak pegawai, itu
pun bagi saya masih tidak efisien. Karena sistem yang baik adalah sistem dengan
pelaku atau operator yang sedikit. Di sinilah peran pengembangan TIK menjadi
sangat krusial guna lancarnya birokrasi. Pelayanan publik berbasi TIK dan
internet mungkin solusi yang cukup baik untuk pengatasan masalah tersebut.
Bagaimana dengan BANK?
Coba
kembali kita lihat di BANK, berapa costumer
service dan teller-nya? Dengan
beberapa costumer service dan teller saja segala urusan perbankan
dapat dilaksanakan dengan optimal. Ini karena semua telah dipersiapkan dengan
mesin atau teknologi. Dan kualitas SDM-nya pun sangat bagus. Berbiacara
kualitas maka juga berbicara dengan kualitas perekrutan. Ini yang selanjutnya
nanti akan dibahas dalam topik “Kenapa Birokrasi di Indonesia Perlu Diperbaiki?”
Garis Besar
Dapat
disimpulkan bahwa permasalahan tidak efisiennya birokrasi itu sebenarnya
permasalahan sistem dan permasalahan birokrat. Mengenai sistem, secara garis
besar yang menjadi sorotan saya adalah dalam bidang pelayanan. Pelayanan yang
buruk, berbeli-belit dan terlalu lama adalah sebuha indikator utama betapa
tidak efisiennya birokrasi di tanah air. Belum lagi sistem-sistem lain dalam
praktik birokrasi di Indonesia seperti dalam proyek pembangunan, kesehatan,
pendidikan dan lain sebagainya, masih banyak sekali terjadi penyimpangan.
Dua Permasalah Krusial
Kemudian
mengenai birokrat, ada dua permasalahan krusial. Yang pertama adalah banyaknya
birokrat dalam tataran birokrasi, dengan melibatkan terlalu banyak orang maka
akan terlalu banyak pula kepentingan pribadi dan kelompok yang memungkinkan
terjadinya penyimpangan. Permasalahan yang kedua adalah kualitas SDM dalam
birokrasi, karena penerimaan dan pola di dalam birokrasi sudah tidak sehat
lagi, maka orang berkualitas rendah bisa dijadikan pimpinan sedangkan orang
bergelar Doktor bisa dikotak ke wilayah terpencil menjadi tukang stempel.
Peristiwa
di atas sudah banyak terjadi. Dan saya tahu sendiri hal tersebut, di mana
seorang pakar pendidikan bergelar Doktor yang sebenarnya berada pada jabatan
pusat di Surabaya harus menerima kenyataan dimutasi ke daerah Malang Selatan
menjadi tukang stempelnya kecamatan. Ini semua karena dalam birokrasi, monopoli
kekuasaan itu biasa. Siapa yang di atas dialah yang berkuasa, semua harus
tunduk pada atasan. Ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran birokrat untuk
benar-benar tulus mengabdi pada masyarakat.
Konklusi
Itulah
beberapa hal yang merupakan wujud nyata betapa
tidak efisiennya birokrasi kita. Hal-hal semacam itu cukup
memperihatinkan. Birokrasi yang semestinya adalah sebuah wadah pelayanan harus
menjadi tabung monopoli yang sarat dengan kecurangan dan kejahatan terselubung.
Hal-hal semacam itulah yang sebenarnya juga menghambat perkembangan Indonesia
sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar