![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiinplwM102f9O-WUfaIawl0wAphQxUlxUJLEfS5J0DI4TsMweC8g9zNOdwWpq9kyTT_jhyeP2k8m754VPrQyzhN4yFZi2vMzRRegMcRQuL1HAINF4VIxycgUm3HiQHV_WHy3DYv71chlOE/s200/kenapa.jpg)
Birokrasi hanya warisan kolonial.
Segala
sesuatu perlu perbaikan menuju arah yang lebih baik. Segala ciptaan manusia
bersifat lemah dan jauh dari kesempurnaan secara hakiki. Begtu pula dengan
birokrasi yang juga merupakan produk kreativitas manusia. Seandainya birokrasi
kita telah memenuhi standartkualitas yang baik, maka tetap diperlukan
perbaikan. Dinamika perubahan menuju yang lebih baik sangat diperlukan di dalam
segala hal, utamanya yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat.
Bisa
dikatakan bahwa sistem birokrasi kita adalah warisan turun temurun dari
Kolonial Belanda. Karena bangsa kita belum pernah mengenal birokrasi
sebelumnya. Hanya ada sistem kerajaan secara konvensional. Sejak awal dipegang
penjajah, wajah kotor birokrasi telah ada dengan adanya kecurangan,
penyimpangan, KKN dan lain sebagainya. Mungkin penyakit mental birokrat ini
juga merupakan warisan gen secara sosial yang sulit untuk diputus mata
rantainya. Secara sederhana mungkin dapat dikatakan bahwa itu adalah budaya.
Birokrat itu hanyalah pelayan
rakyat.
Sayangnya
buruknya budaya itu tida membuat hati dan pikiran bangsa Indonesia untuk lebih
baik, justru menjadi arena berebut kekuasaan dalam ranah birokrasi untuk
kepentingan pribadi dan kelompok. Perlu diketahui bahwa birokrasi adalah sistem
pelayanan untuk masyarakat. Berarti hakikatnya masyarakatlah yang dilayani atau
saya katakan bahwa masyarakat adalah bos, sedangkan birokrasi adalah sistem
untuk melayani sang bos dengan para pembantu dan pekerjanya adalah para pegawai
birokrat.
Jika
melihat secara substansial seperti ini, maka posisi rakyat adalah lebih tinggi.
Harusnya masyarakat lebih dihormati dan ditakuti oleh birokrasi. Namun apa yang
terjadi? Dengan dalih nama “PEJABAT”, mereka ingin dihormati dan dilayani. Ini
sangat terbalik sekali dengan fungsi dan tugas mereka. Dalam bahasa kasar saya
para birokrat bahkan Walikota hingga Presiden itu sebenarnya adalah pembantu
kita. Hanya saja karena karena
pergeseran rasa dalam moralitas kita, maka masyarakat memberikan penghargaan
kehormatan atas jasa mereka.
Permasalahan pertama.
Jadi
penyakit pertama yang harus dirubah adalah para birokrat yang lupa diri bahwa
mereka tidak lebih dari seorang pelayan. Yang disebut pelayan harus mau
disuruh-suruh dan taat kepada majikannya. Dalam hal ini maksudnya adalah bahwa
birokrat harus benar-benar melayani sepenuh hati. Bukan malah sebaliknya ingin
dilayani dan dihormati. Saya kira jika para birokrat itu sadar bahwa siapa
sebenarnya mereka, itu akan membawa dampak yang sangat baik bagi tataran
birokrasi kita.
Rezim Administrasi.
Pembahasan
birokrasi tidak akan pernah lepas dari pembahasan administrasi. Ini karena
dalam birokrasi, asal semua bisa dipertanggung jawabkan secara administrasi
maka semua dianggap telah sesuai target dan aturan. Seorang koruptor dapat
hidup tenang dan berfoya-foya dengan uang rakyat yang berputar di birokrasi
cukup hanya dengan permainan data administrasi. Sedangkan orang yang jujur
justru bisa menjadi bulan-bulanan karena kelalaian administrasi. Menurut saya,
kata birokrasi itu lebih pantas disebut dengan REZIM ADMINISTRASI. Semuanya
harus kuantitatif dan saya adalah penentang kuantitatif murni. Tidak semua hal
itu dapat disimbolkan dengan data dan angka.
Baik,
sedikit menyimpang, misalnya adalah dalam pendidikan. Berapa banyak dosen yang
benar-benar tulus medidik mahasiswanya? Saya kira hanya segelintir orang saja.
Dan itu sangat mudah dirasakan dari mimik dan feel penyampaian para dosen.
Kenapa? Karena rata-rata dosen hanya mengejar SKS dan target silabus. Sehingga
penilaian pun bersifat kuantatif, asal nilai quiz dan ujian bagus maka IP pun
bagus. Tidak peduli itu nilai dari mana. Memang selalu ada pengawasan dalam
ujian, tetapi apakah itu menjamin kemurnian nilai?
Permasalahan kedua.
Nah,
kembali lagi pada permasalahan administrasi, bahwa data berbasis kuantitatif
itu sangat mudah dimonopoli dan dimanipulasi. Maka tidak seharusnya segala
sesuatu itu mendewakan hal-hal yang bersifat kuantitatif. Sehingga hal ini
merupakan yang kedua yang perlu diperbaiki. Perlu ada pertimbangan moral dan
kesehatan mental yang baik di tubuh birokrasi. Sebagai contoh adalah proyek
bantuan kepada rakyat miskin, dengan pertanggung jawaban administrasi yang baik
maka korupsi akan dianggap legal. Coba jika pertanggung jawaban dalam birokrasi
adalah pertanggung jawaban moral, pasti akan lebih baik lagi.
Birokrasi adalah arena saling
menjatuhkan.
Di
dalam Birokrasi, saling menjatuhkan adalah sebuah permainan yang dianggap
biasa. Dalam satu divisi bisa saja dan pasti setiap individu memiliki
kepentingan-kepentingan pribadi. Ini di luar sebagian kecil orang yang memiliki
ketulusan. Maka ini kembali lagi seperti pada pembahasan ketidak efisienan
birokrasi. Perlu ditata ulang bagaimana para birokrat memiliki jiwa sosial dan
ketulusan yang dalam guna pengabdian tersebut.
Kesimpulan
Sebenarnya
sama saja dengan pembahasan pada topik ketiak efisienan birokrasi, pada intinya
yang harus diperbaiki adalah mesin dan operator birokrasi, yakni sistem dan
pelakunya. Sebenarnya masih sangat banyak hal yang perlu diperbaik jika
dikritisi secara eksplisit atau detail. Namun beberapa yang saya paparkan itu
kiranya telah mencakup garis-garis besar penyimpangan atau ketidak seimbangan
yang perlu diperbaiki dalam tubuh birokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar