Ketika seorang tetangga memberi kita sebuah bungkusan hitam. Baunya
harum, ketika dibuka isinya beberapa buah mangga yang telah masak dan
besar-besar. Kemudian kita memakannya sekeluarga. Apa yang akan kita
lakukan pada tetangga tersebut? Pasti sangat berterima kasih dan bahkan
tidak akan melupakan pemberian tersebut.
Satu ketika, seorang gadis cantik memiliki kelainan pada ginjal. Usianya
diprediksi oleh dokter hanya tinggal beberapa saat. Kemudian seorang
temannya merelakan ginjalnya untuk didonorkan kepada gadis tersebut.
Kebetulan temannya itu menyukai gadis tersebut, jadi dia rela
mengorbankan apa pun untuk pujaan hatinya. Sampai pada akhirnya lelaki
tersebut meninggal beberapa bulan setelah mendonorkan ginjalnya, dan si
gadis hidup hingga sekarang.
Si gadis menyadari betapa besar cinta sang teman sehingga rela
mengorbankan nyawanya untuk sekedar kehidupan gadis yg notabene bukan
siapa-siapa. Sang gadis menangis tiap malam hingga buta matanya. Tiap
hari kematian sang teman, dia menabur bunga di makamnya. Membersihkan
nisannya kemudian mengecup nisan seraya mengucap "I love you"
Membaca cerita di atas seakan-akan begitu luar biasa. Tapi tahukah kita?
Ada pengorbanan yang jauh lebih luar biasa dari itu semua? Pengorbanan
berjuta-juta nyawa melayang, dan dari pengorbanan itu kini kita
menikmati dengan leha-leha. Mari menoleh kembali pada sejarah. Mulai
dari pertumpahan darah pada saat jaman kerajaan-kerajaan di Nusantara,
kemudian penjajahan belanda yg kurang lebih 350 tahun, Jepang kurang
lebih 3,5 tahun, belum lagi peperangan di sana-sini paska kemerdekaan.
Bukankah darah dikucurkan sederas-derasnya di mana-mana? Bukankah nenek
moyang kita telah menjadi budak-budak para penjajah? Keringat mereka
dibayar pukulan. Siksaan adalah santapan mereka sehari-hari. Anak-anak
gadis dan istri mereka menjadi bulan-bulanan para bajingan-bajingan
perang. Tanah rumah mereka dirampas, harta mereka dinikmati di atas
kepedihan mereka. Haus, lapar, dan air mata darah mereka benar-benar
ditimba sekuat-kuatnya oleh para penjajah.
Itu semua dilakukan untuk siapa? Siapa yang saat ini menikmati hasil
jerih payah kesakitan mereka? Lalu apa yang sudah kita lakukan untuk
membayar semua itu? Apa pantas kita hanya duduk santai bersenang-senang
untuk harga yang begitu mahal yang telah mereka bayarkan? Itu belum
terjawab sudah ditambahi dengan gaya sok pahlawan ingin merubah
PANCASILA yang begitu beratnya ditanam sebagai pondasi dan dibangun
sebagai bangunan kokoh pengayom bangsa ini.
Begitu kakean polahnya (jw : kebanyakan tingkah) kita jika
punya niat seperti itu. Baru lahir kemarin sore saja sudah macam-macam.
Ilmu pas-pasan, pengalaman sedikit, kontribusi tidak ada, eeeh kok
berani-beraninya seperti itu.
Bagaimana dengan persepektif agama?
Bukankah Pancasila tidak sesuai dengan Islam (misalnya)
Untuk hal tersebut insya Allah akan saya bahas pada bagian berikutnya.
Salam persatuan dan semoga bermanfaat..
0 komentar:
Posting Komentar